Berharap Masih di Novel


Seminggu menjelang idulfitri 1445 hijriah. Perintah dan ajakan mempertebal takwa semakin semerbak, harum keimanan melekat kuat di masing-masing mukmin, masjid dan musala berjejal orang bertaubat, melakukan iktikaf sepanjang malam ganjil demi janji seribu bulan, melantunkan ayat-ayat dan zikir sebab mengetahui kekhilafan diri, sesekali juga terdengar isak haru jemaah yang takut ditinggal Ramadhan, meminta dipanjangkan umur dan kesehatannya sampai dapat bersujud kembali di Ramadhan tahun depan. Tampak begitu khidmat seperti suara rintik air kran yang lupa dimatikan. 

Pada momen yang lain, beberapa perantau sibuk mempersiapkan kepulangannya. Mengecek kembali kendaraan yang digunakan, menghitung sisa uang yang akan diberikan ke keponakan, buah tangan kesukaan orang rumah, dan ribuan rencana jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan menyesakkan. Membayangkan ketenangan serta kegaduhan rumah yang berbulan-bulan ditinggalkan. Sedih karena beberapa hal namun berbahagia karena satu alasan, bertemu orang tua. Kehangatan yang bertahun-tahun diterima nyatanya belum juga cukup mendewasakan, tetap dipandanginya sebagai anak kecil meski sudah sukses tidur tanpa alas dan selimut di pelantaran toko bunga. 

Sedang aku masih tertidur pulas di pagi penuh keberkahan ini. Selepas melahap sahur dan salat subuh sendirian, aku melanjutkan tidur layaknya seorang pemalas dan kufur nikmat. Sedikit yang kuingat, posisi tidurku ketika itu telungkup dengan memeluk sebuah guling, entah jantung atau paru-paruku yang bermasalah, namun hal itu yang membuat tidurku beberapa hari belakangan tidak nyaman. Nyeri kadang timbul-tenggelam tanpa bisa ditebak, kadang menyebabkan sesak, kadang tidak aku hiraukan. Sebab tidur telentang atau menyamping hanya membuatku semakin sesak dan berpikir akan mati muda, maka kutemukan secara tidak sengaja dan penuh kesembronoan resep tidur telungkup guna mensiasati sakit keparat ini. Persis seperti hari itu, perih nyerinya timbul menghantam kedua dadaku, serasa ingin keluar dari dalam tubuh, sakitnya tembus sampai seprai motif bunga di kamar basah kerena keringat dingin yang kurasakan. 

Setelah beberapa waktu berjuang melawan ketidaknyamanan ini, aku terbangun dengan kondisi mulut penuh sesuatu, serupa dahak namun beda, terasa lebih hambar, sedikit kental dan penuh di langit-langit mulut. Dengan langkah tergopoh-gopoh, aku menuju kamar mandi dan segera kulepehkan sesuatu itu. Sesuatu itu berwarna merah segar bergumpal bercampur liur dan mungkin dahak kemarin sore. Sempat terhentak, kutaruh diriku sejenak di pojok kamar mandi. Namun, tidak berselang lama, rasa mual benar-benar menghilangkan kendaliku atas tubuhku sendiri. Batuk demi batuk mulai menghabisi sisa tenagaku, merah darah berceceran di lantai dan tembok keramik kamar mandi. 

Sepenglihatanku, sesuatu ini keluar banyak sekali, kusiram beberapa kali namun batuknya terus-menerus mengeras, tidak secair darah namun kental bercaknya cukup membuatku panas dingin seketika. Mual tiada henti ini menganggu ibadah puasaku yang sudah di ujung tanduk. Sekelebat bayangan tentang darah penyembelihan sapi yang merah kental menggumpal menyelimuti seluruh otak ini. Leher sapi yang tergorok memuncratkan darah segar, darah disertai gumpalan dan buih-buih berwarna merah gelap, tubuhnya terkapar tak berdaya, sesenggukan dengan mata yang mulai berkaca-kaca menunggu ajalnya tiba. Kulihat baik-baik sesuatu itu, dan mulai berpikir tak ada bedanya aku dengan sapi kurban. 

Rasa mual ini tidak kunjung hilang sampai beberapa saat lamanya. Sekejap hilang namun tak lama datang kembali, entah karena teringat leher sapi yang hampir putus atau dorongan alamiah tubuh yang tidak sanggup lagi. Mualnya sudah benar-benar menguasai tubuhku, ia masuk secara lancang dari ujung kepala sampai jari-jari kaki, membuat baju putih polos menjadi motif darah menyala di beberapa bagian sisinya. Penderitaan ini perlahan pudar ketika kupaksa diriku meminum air bak mandi sedikit demi sedikit, membasahi kepala dengan beberapa genggam air supaya sadar bahwa ini semua bukanlah sebuah mimpi kosong di pagi penuh berkah. 

Sesaat aku mengingat bacaan yang terakhir kubaca, The Old Man and The Sea. Menganggap diri sebagai nelayan muda yang akan menggusur kedigdayaan lelaki tua melaut berhari-hari. Bersusah payah mencari ikan dengan kail dan senar pancing seadanya. Berdarah di tangan kiri dan kanan, dehidrasi di tengah air asin, sempoyongan sehabis makan tuna mentah, serta kesepian teramat sangat hingga berbicara dengan dayung kayu di haluan kapal. Ketika keputusasaan membuncah, ikan besar datang menguji ketabahan. Berjam-jam lamanya menangkap ikan tersebut yang secara ukuran jauh melampaui kapal.  Merayakan keberhasilan di bibir pantai dan mengangkat tangan ke atas seraya mengucapkan syukur layaknya pemain sepakbola ketika berselebrasi. Ikan tangkapan mulai ditimbang dan dipotong sesuai bagiannya. Besar sekali bahkan menjadi yang paling besar selama kota pesisir ini berdiri. Di sela-sela kesenangan tersebut, menetes air ke lutut, air bekas membasuh kepala yang sempoyongan melihat bercak darah segar. Tetasan mungil itu nyatanya sudah cukup membangunkan seorang nelayan muda tangguh pada dinginnya kondisi air bak kamar mandi rumah. Bayangan ikan besar pelan-pelan mulai menghilang, berganti dengan rencana menemui dokter puskesmas secepat mungkin. 

Merasa prosesi penyembelihan sapi sudah akan berakhir, kuangkat badanku sebisa mungkin dan berjalan menuju tangga. Tangga tersebut tidaklah terlalu tinggi namun rasanya takkan mampu kulalui. Dengan baju berdarah-darah dan cuap-cuap meminta kekuatanNya, aku menuruni tangga dengan badan bersandar tembok. Mual dan batuk darahnya kembali muncul, segera tanganku refleks menampungnya, mengelap darah tersebut di baju yang sudah terlanjut kotor dengan keringat dan darah. Melangkah penuh kehati-hatian. Hampir menyerah karena tak kuat menahan mualnya, badanku meminta kembali ke kamar mandi, meringkuk di pojokan lalu berimajinasi tentang ganasnya marlin biru atlantik. Mulut yang tak dapat menahan penuhnya darah dan dahak, telah sedikit memuntahkan cairan tersebut ke lantai tangga. Menghela napas sejenak, menguatkan diri sendiri, mengelap sisa-sisa keringat di dahi, kuberanikan turun secepat mungkin dan melawan bentuk lain penderitaan ini. 

Kulihat ibu masih terbaring nyenyak di sofa ruang keluarga. Dengan perasan campur aduk, kubangunkan ibu dengan mencolek kakinya. Memohon kesediannya untuk menemani ke dokter. Pucat mukaku ketika itu, seperti mayat yang belum juga dikuburkan selama 2 hari. Ibu mengiyakan, dan menyuruhku siap-siap. Entah datang kekuatan dari ibu atau siapa, secepat kilat aku bergegas menyiapkan diri, tanpa peduli seberapa sulit aku menuruni tangga sebelumnya. 15 menit kubergegas, mengganti seluruh pakaian, menenangkan diri, mengecek gawai, dan memastikan ibu sudah selesai dari mandi paginya. Setelah semua dirasa siap, ibu menyalahkan motor dan menyuruhku duduk di belakangnya, senantiasa mengucap zikir dan memohon pertolongan Tuhan banyak-banyak. Kami ke rumah sakit terdekat, berjarak 10 menit dari rumah, rumah sakit yang cukup besar dan bisa diandalkan, sepertinya. 

Tepat pukul 09.25 WIB, aku dan ibu sampai di ruang IGD. Perawat mulai menanyakan keluhan yang aku alami, beberapa kali memastikan jawabanku yang masih terlalu awam untuk membicarakan sakit dan penyakit. Memeriksa tensi darah, berat badan, denyut jantung, dan mata. Setelahnya, aku dibiarkan menunggu di lobi sampai diagnosis dokter keluar. 

Sewaktu menunggu diagnosis, kuperhatikan rupa-rupa orang bersama keluhannya datang ke meja pemeriksaan. Ada yang batuk, mual-mual, merintih sakit, getar dan kejang, berdarah-darah, sampai hilang sadar. Riuh dan ribut sekali ruangan ini, tak peduli seminggu ke depan hari raya, orang sakit terus bergelimpangan dan berdatangan. Gesitnya perawat menerima pasien, panggil-memanggil perawat lain yang lebih ahli, menggerutu karena pasien yang menolak disuntik, berkordinasi perihal ruang inap yang kosong, semuanya adalah pemandangan aneh namun menarik untuk disaksikan. Belum lagi dengan beberapa orang sepuh yang menolak mati dan berusaha menyelamatkan dirinya dengan terus-terusan berselawat, tasbih kayu tidak henti-hentinya diputar searah jarum jam, mata sayu yang tak lagi menunjukan semangat duniawi, napas yang mulai menipis karena separuhnya digunakan untuk memuji kekasihNya. Prahara hidup dan mati membuat seisi ruang penuh dengan doa-doa kesembuhan dan kepasrahan seorang hamba.  




Raihan Immaduddin 
Pamulang, 23 April 2024
Selamat membaca
Sehat-sehat setelahnya

Komentar

  1. Aku, kamu, dan semua yang membaca, semoga kita senantiasa berada dilindungan-Nya

    BalasHapus
    Balasan
    1. aamiin aamiin, sehat jasmani, rohani, dan imajinasi.

      Hapus
  2. semoga bungamu segera mekar merona memberikan kebahagiaan bagi orang yang melihatnya, aku tunggu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. tunggu juga lanjutan dari cerita ini, menarik klo ga lupa dan mager nulisnya

      Hapus
  3. semangat kum, kesehatan pasti datang kepada orang-orang yang baik kepada sesama

    BalasHapus
    Balasan
    1. panjang umur dan sehat selalu orang-orang baik serta bermanfaat bagi sekitarrrrrnyaaa

      Hapus
  4. Kalau kamu perempuan, aku pasti memelukmu.🌷

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer