Anak Puber dan Nenek Ramah yang Saling Berkenalan
Ketimbang mesti menceritakan buku favorit, saya lebih memilih menyebut penulis yang karyanya paling sering saya baca. Eka Kurniawan dan Agatha Christie. Keduanya benar-benar membuat saya jatuh suka pada dunia sastra dan tulis-menulis.
Ibarat manusia, karya-karya Eka bagai anak yang baru puber; lincah, luwes, unik, dipenuhi humor dan amarah, serta nakal coba-coba. Dengan alur cerita yang bagi beberapa orang terlalu lompat-lompat. Namun, menurut saya, itu yang menjadi daya khas Eka Kurniawan. Ia mampu menjahit paragraf demi paragraf sedemian rupa menjadi satu setel baju mewah sekaligus sulit ditebak. Manik dan aksesoris bajunya terbuat dari analogi, majas, riset, dan pengetahuan lokal yang dirinya miliki. Autentik.
Bayangkan, seberapa absurd tulisannya ketika seorang perempuan yang telah meninggal 21 tahun lamanya tiba-tiba bangkit dan melacurkan diri di rumah bordil. Sinting bukan main. Atau, saat Eka mendeskripsikan daging leher manusia seperti tahu lengkap dengan genangan darahnya akibat gigitan sadis sang lelaki harimau. Dalam cerpen-cerpennya, Eka malah lebih ganas lagi. Ada yang meninggal tertimpa baliho taman, meninggal tertembak hewan jadi-jadian bernama Caronang, bau amis simpatisan komunis yang menghiasi satu kota bertahun-tahun lamanya, ritual senggama gila pengguna jimat sero, bahkan cerita tolol dan miris tentang kualitas iman santri surau yang lupa bacaan salat.
Sebagai orang yang belajar sejarah dan budaya, tulisan-tulisan Eka terasa dekat. Memang begitu absurd, tetapi amat berdasar. Bukan yang melangit-langit dan tetap menapak pijak bumi. Bila banyak penulis mencari nama tokoh berunsur barat kekinian, penamaan tokoh-tokoh Eka terdengar norak dan ndeso. Ajo Kawir, Iteung, Maman Gendeng, Kliwon, Komar bin Sueb, Kartomo, dan lain sebagainya. Nama yang kini jarang ditemukan bahkan mungkin tak ada lagi anak muda yang berkeinginan menamai anaknya kelak dengan nama-nama tersebut. Namun, lagi-lagi, kenorakan nama tersebutlah yang membuat tulisan Eka terasa dekat, beda, dan ikonik di memori pembaca.
Soal alur cerita, jangan ragukan Eka. Logikanya, tidak mungkin saya sampai membaca 6 bukunya dan sampai hari ini masih nyaman membaca ulang tulisan-tulisannya. Lezat dan bergizi untuk mengisi waktu luang maupun sempit sekali pun. Pindah ke penulis yang proses keatif menulisnya sulit untuk saya bayangkan. Dua ratus karya selama hidupnya, diterjemahkan dalam 100 bahasa lebih, dan masuk rekor dunia sebagai novelis dengan penjualan terbaik sepanjang masa. Dan lebih hebatnya lagi, Agatha pengidap disgarafia atau gangguan menulis dan mengeja tulisan.
Tidak seperti Eka yang menggebu-gebu dalam menjelaskan sebuah peristiwa, Agatha benar-benar seperti orang tua ramah tetapi penuh kejutan. Pengamatan, pendeskripsian, pemilihan dan pembelokan alur, sampai dengan penutupan cerita dibuat sedetail mungkin. Tak sulit membayangan tokoh detektif bernama Hercule Poirot sebagai orang tua kecil gundul yang suka membusungkan badannya.
Narasi cerita Agatha sangat detail dan memudahkan pembacanya dalam memperkirakan kondisi getir yang dialami tokoh-tokoh dalam ceritanya.
Dengan segitu banyak novel yang ia buat, plot dan pengungkapannya berbeda satu dengan yang lain. Racun, obat, dan narkotika diracik sedemikian baik guna membius para pembaca. Hilang waktu dan uang untuk terus-menerus membeli episode baru. Metode pemecahan yang masuk akal + pendekatan psikologi + motif ekonomi menjadi paket terbaik yang Agatha tawarkan di semua tulisannya.
Akhir kata, Agatha Christie bukan hanya penulis terbaik sepanjang masa, tetapi juga pembuat skenario pembunuhan paling realistis yang bisa saja menginspirasi para pembunuh merealisasikan skenarionya. Dan ini, pernah terjadi. Dewasa, lambat, namun berbahaya. Agatha Christie.
Raihan Immaduddin
Pamulang, 2 Maret 2025
Selamat Membaca
Semoga Lekat Baca



Komentar
Posting Komentar