Didekati Keterasingan

Begini, akan ku beritahu sedikit tentangku selama setahun ini. Sedikit saja, sebab untuk berbicara banyak, aku tidak punya banyak waktu untuk itu. Sungguh, waktunya tiba-tiba saja habis ditelan kesibukan maupun pengasingan. Tentang kesibukan, mungkin semua orang menjalaninya, tetapi bagaimana dengan pengasingan? Apakah semua orang mau menghadapinya? Apakah semua orang mampu melaluinya? Aku jelas-jelas mendapat kesempatan tersebut, di antara banyaknya pilihan paling mendebarkan tahun ini, ia terselip pada bagian paling bawah tujuan hidupku, meminta untuk diletakkan di urutan teratas dan memaksaku menggunakannya. 

Jujur, agak canggung memulai ini semua dari mana. Aku sudah seperti lebah yang kehilangan ratu lebah, paku yang ditinggalkan oleh palu, kaus kaki yang kehilangan sepatu, atau mungkin seperti buku yang kehilangan halaman-halamannya. Kehilangan semangat menulis 18 bulan lamanya. Bukan karena kehilangan keresahan tetapi lebih karena ingin mencari potensi dan kemungkinan. Sama sekali bukan karena seringnya mendapat kebahagiaan tetapi lebih karena lupa mensyukuri kehidupan. Jalannya tetap terjal dan berliku, sempat juga jatuh dan membuatku malu, tetapi kemudian cepat puas dan lupa kepada yang membantu. 

Akhir tahun selalu jadi momok paling menakutkan, perihal mengingat setahun ke belakang, cukup memberiku kesan suram dan mencekam. Tidak selalu buruk, banyak juga baiknya, tetapi entah kenapa, aku lebih suka larut ke dalamnya. Menenggelamkan yang indah lalu meromantisisasi hitamnya. Membahas yang hitam, yang pekat, yang gelap kemudian tertidur pulas di atasnya. Ditinggalkan sejauh mungkin lalu tidak berusaha mengejarnya. Dijauhkan seasing mungkin lalu tidak berupaya mendekatkannya. Jika dipukul, dibentak, dijambak adalah makanan, maka memar dan trauma bagian dari kenyangnya. Jauh, kayuh, jatuh, dan luruhlah. 
_________________

6 hari sebelum pergantian tahun, rumah didera hujan lebat. Suara rintiknya sangat gaduh sampai-sampai menganggu kekhusyukan doa ibu. Aku khawatir doa-doa tersebut tidak sampai, takut kalau-kalau doa kehalau angin kencang. Angin sialan tersebut bisa saja membawa doa ibu ke tempat pembuangan atau selokan jalanan. Jika doa berada di sana, aku takut doa suci ibu tercampur najis liur anjing yahudi, dan ditolak kabulkan Tuhan ke bumi. 

Hujan lebat ini belum juga reda sedari sore. Aku banyak kehilangan waktu untuk bekerja alih-alih beribadah. Adakalanya beban pekerjaanku lebih banyak dari kesepakatan awal, sedangkan ibadahku seringkali hanya menjadi beban dan sumber kecemasan. Setelah penat berkerja, aku lebih suka menonton video lucu atau menghadap buku ketimbang penciptaku. Sesekali aku menyesal dan berjanji tidak begitu, tetapi kemudian lupa, dan terus melanjutkan kebiasaan itu.

Malam ini, ibu terus-menerus mengadu ke Tuhan. Ibu terlihat menangis tetapi berupaya menahannya. Rintihan pesan ibu terdengar memilukan; pelan, lirih, dan lembut sekali. Ibu bukanlah seorang penyanyi, ia sungguh tak pandai mengindetifikasi nada, suara nyanyiannya juga terdengar berantakan dan sumbang, tetapi entah kenapa, malam ini suara ibu berbeda. Ibu sama sekali tidak menggunakan teknik pernafasan perut, dada, atau diafragma, ibu murni memakai suara hati untuk mengadu ihwal anak lelakinya. Suara penuh kesabaran, keikhlasan, ketulusan, serta sedikit kegusaran. 

Hal pertama yang ibu adukan adalah kemungkaran anak lelakinya. Anaknya sudah besar —dapat menonton film sendiri, memesan makanannya sendiri, mentraktir wanita kesukaannya, dan menggaruk punggungnya sendiri— tetapi lupa jalan pulang. Saat-saat terindah dalam hidupnya dihabiskan di luar rumah, ibu sama sekali tidak dilibatkan. Ibu terlihat sedih dan rindu ketika dengan sengaja memajang foto anak lelakinya di cerita berkala Instagram. Ibu sedih karena tiap dering telponnya tidak sekalipun diangkat, padahal sejak dulu, ibu lah yang ia cari-cari saat kebingungan melanda. 
_________________

Pada malam yang sama, aku mengalami mimpi buruk. Dalam mimpi tersebut, ibu menyuruhku menjadi polisi. Aku takut setengah mati. Baju tidurku seketika basah oleh keringat, nafas tidak beraturan, dan panas sekujur tubuh. Aku mencoba fokus dalam mimpiku, mungkin ibu salah mengucapkan keinginannya, tetapi nyatanya tidak, ibu ingin anak lelakinya ini menjadi polisi. Aku lantas bangun dan meludah ke sisi kiri kasur sebanyak tiga kali. Lebih baik bertemu bola api ketimbang dipaksa masuk polisi. 

Polisi yang aku bayangkan tidak lebih seperti hantu-hantu bergentayangan. Mereka bisa dengan sangat menyakinkan menakuti-nakuti manusia. Kerjanya mengayomi tetapi yang tampak adalah menyakiti. Katanya melindungi tetapi suka juga memukuli. Satu pukulan anggota polisi ke dada kananku sewaktu demontrasi tidak pernah aku lupakan. Pada saat memukuliku, mukanya memerah, matanya melotot tajam, dan mulutnya tidak henti-hentinya mengucapkan anjing babi bangsat. Selepas memukul, polisi tersebut balik badan lalu mengacungkan jari tengahnya sambil cekikikan. Mungkin ia merasa asik seperti itu, asik sendiri maksudnya.

Secara tidak sengaja, aku kembali bertemu dengan segerombolan polisi di burjo samping lapangan tembak. Mereka asyik membicarakan soal demontrasi tadi. Katanya, ada yang berhasil memukul dada, membanting dua demonstran sekaligus, ada yang dengan sengaja menembakkan gas air mata, dan ada juga yang mengambil paksa kamera mahasiswa. Sialan betul polisi ini, kataku. Ingin sekali rasanya meludahi muka mereka satu per satu, memasukkan puntung rokok ke sepatunya, mengganti peluru pistolnya dengan kapulaga busuk, atau bahkan mengencingi motor trail dinas kebanggaannya. 

Apa segerombolan polisi tersebut tidak pernah merenungi tindakan-tindakannya. Bukankah seharusnya mereka memohon maaf ke masyarakat atas semua perilaku brutalnya selama ini. Apa mereka tidak berpikir dari mana uang yang mereka dapatkan, uang yang mereka belikan gawai, jam tangan, sepatu, motor, sampai parfum mewah untuk menggoda dan menyakiti hati perempuan-perempuan. Hanya modal gagah dan berotot membuat mereka seenak jidat memainkan perasaan. Sombongnya melebihi raja, kepedean melebihi orang terkaya sedunia. Faktanya begitu.
_________________

Setelah dirasa mampu mengendalikan diri sehabis mimpi tadi, dengan tangan sedikit gemetar, aku mengambil gawai lalu mengecek notifikasi yang masuk. Seorang teman meminta pendapatku terkait hasil debat capres semalam. Aku diam sejenak dan menjawab, "Aku belum menentukan pilihan, aku suka 01 beretorika, aku suka 02 bergimik, aku suka wakil presiden nomor 03." Lebih-lebih dari itu, aku tidak ingin ditanya pilihan politikku saat ini.

Teman tersebut tiba-tiba menelponku, ia punya rencana mengajakku untuk bermain-main di arena pemilu. Sejujurnya aku ragu untuk mengiyakan tetapi dengan dalih belajar dan mencoba hal baru, aku turuti saja. Semenit kemudian, aku menyesal, sangat-sangat menyesal. Pilihan ini bukan hanya menggadaikan topengku tetapi juga mengolok-olok banyak orang yang aku temui di sepanjang jalan. Rasanya tak apa dadaku dipukul senjata laras panjang semalaman penuh ketimbang harus bersusah payah memenangkan pilihan yang bukan pilihanku. 

Ternyata benar, aku tidak cukup kuat menahan lapar. Apa yang aku kayuh sejauh ini tidak ada artinya. Alibi belajar dan keluar dari zona nyaman adalah palsu. Itu alibi yang dicari-cari. Bukankah lebih nikmat menulis tanpa ada beban di pundak? Bukankah lebih nikmat berdiskusi tanpa ada sosok yang dibela? Bukankah lebih liar bercerita tanpa ada citra yang dijaga?

Dengan keyakinan bahwa aku tetap bisa hidup dan menikmati hidup, segera aku matikan telpon tersebut. Aku putus jaringan internetku kemudian beranjak tidur kembali.

Sumber: Google

Seketika semerbak wangi tubuh wanita menemaniku di sela-sela tidur panjang malam ini. Wangi yang selalu keluar dari dinding dan cermin kamar sejak 3 tahun lamanya. Wanginya selalu menemani sekaligus menghantuiku, ia masuk dari hidung lalu menetap dan sesekali berkeliaran di pikiran. Wangi seorang wanita yang lama tidak aku sapa. Kami seperti dua orang yang berdiri di masing-masing sisi jalan, menunggu lampu hijau untuk berjalan dan berpapasan, mencoba berjalan selambat mungkin agar bisa bertegur dan memberi kabar.

Setiap detik menuju hilang sadar, memori indah datang satu per satu. Athena, Hera, Aphrodite, Artemis seakan-akan datang untuk menguji keterlelapanku. Dengan sopan, mereka membawa satu nama wanita yang tidak bisa aku lepaskan. Aku katakan, bagimana mungkin aku melepaskannya jika menemukannyapun aku kesusahan. Mencocokkan setiap siluet tubuh wanita yang aku temui dengan lekuk indah badanmu yang tiada tara. Memadankan mata, hidung, mulut, dan sedikit rambut yang keluar dari hijabmu dengan seorang wanita yang aku temukan di gerbong kereta. Sungguh, aku kira itu dirimu, aku kira telah menemukanmu, aku kira semuanya sudah selesai, namun nyatanya tidak, orang itu bukan dirimu, aku tidak berhasil menemukanmu, ceritanya juga belum selesai, dan yang paling buruk, aku harus kelewatan lima stasiun karena dirimu.  

Pernah ada dalam satu waktu, aku rindu bercakap-cakap denganmu. Kau sudah memiliki hambatan hati, akupun demikian. Kita saling sibuk dengan urusan pasangan kita yang sesekali atau bahkan seringkali mengganggu ketenangan hidup. Kita saat itu yakin, pasangan kitalah yang paling mengesankan, kita yakin pasangan kitalah yang paling membawa kebahagian, kita yakin pasangan kitalah bagian terindah dan terbaik yang pernah kita temukan, kita terlalu yakin sampai-sampai waktu mengubah keyakinan kita. Tidak ada lagi kata terindah, terbaik, terkesan atau semua kata yang berkonotasi baik. Kita menyesal, kita kecewa, bahkan mengucap syukur atas takdir perpisahan ini. 

Mungkin, itu juga alasan Tuhan tidak mempertemukan kita. Kita bisa terus menjalani peran sebagai yang terdekat atau terasing sekalipun. Atau mungkin, tidak cocok saja jika disatukan. Banyak kisah-kisah roman yang berakhir indah karena tidak dipersatukan. Banyak sajak serta puisi yang terlampau manis untuk dibaca kerena kehilangan mengilhami jalan ceritanya. Banyak lagu bertema kesedihan yang sering dinyanyikan saat momen-momen kebahagiaan. Semuanya tampak menyakinkan untuk terus diyakini dan dijalankan. Ketidakbersatuan mungkin saja menjadi akhir dalam kisah mengagumkan dua orang bernasib baik ini.

Pukul 23.52, aku terakhir sadar. Menutup mata untuk tidur berjam-jam ke depan. Wangi tubuhmu masih berkeliaran di kolong kasur sederhana ini, siluet badanmu menjiplak sempurna di cermin tua pemberian nenek, dan suara tertawamu masih terus menempel di dinding kamar. Membayangkanmu sebelum tidur mungkin saja bukan cara atau ritual tidur yang baik untuk dilakukan, meski begitu, membayangkanmu sebelum tidur adalah bagian dari aksi paling impresif yang pernah aku lakukan di penghujung tahun. 

Dan benar saja, para dewi itu berhasil menguji malamku. Mereka berhasil mengubah malam seorang pesakitan menjadi seorang pendoa dalam satu waktu. Semoga para dewi ini tidak dikutuk Tuhan karena kecantikan dan kesaktiannya. Semoga semua orang sehat termasuk ibu yang masih khusyuk berdoa. Semoga polisi tidak arogan dan melanggar aturan. Semoga dirimu bisa terus bahagia dan membahagiakan. Semoga aku mengenal diriku. Semoga proses tidur ini menjadi ibadah. Semoga aku dibangunkan setelah malam pergantian tahun sehingga aku tidak perlu lagi menulis harapan indah di tahun depan. Aamiin.



Raihan Immadu
30 Des 2023
Selamat Membaca
Berdoa dan Berharap Juga Boleh 

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer