Sebercanda Itu

Pukul 01.33, hari Jumat dini hari. Keluar busa ruai dari mulut seorang kawan setelah berjam-jam lamanya bercerita. Ia jelas pilu dan cemas akan posisinya saat ini. Malam sebisa mungkin coba ia hindari, menjelajahi rumah demi rumah untuk mencari terang. Dendam merasukinya dalam-dalam hingga menjadi penjelajah bodoh. Ya, bodoh, ia mengaku dirinya bodoh lagi bebal sebab tak segera sadar akan kenyataan yang sedang dihadapinya. Sadar ia tunggu sabar-sabar sampai waktu dan alam membuatnya biasa. Bersusah payah mencari pembelaan atas perundungan yang terus-menerus menimpanya. Pesimisme sah ia jadikan pedoman dalam berkehidupan.
____________________


Dilarang mengusik
Dilarang jelek
Dilarang miskin
Dilarang merepotkan

Tak pernah terbayangkan sebelumnya, kekasihnya meninggalkan dirinya tak sampai seminggu setelah berpisah. Mengunggah status hubungan dalam laman Facebook yang sudah lama ditinggalkan orang-orang. Sedikit alay, banyak menyakitkannya. Enam tahun berlalu dengan mengenaskan, penuh lika-liku dan berakhir memilukan.

Pilunya disimpan dalam-dalam dalam ruang penuh memori tentang bahagia dan mesra yang kini tidak ada artinya sama sekali. Tertatih melihat unggahan Facebook lalu segera menangis ketika diputar lagu sendu. Meringkuk di pojok kamar sembari tersedu-sedu melihat dirinya saat ini. Menyesal mengapa bisa kebahagiaannya direnggut wanita aneh lagi kasar.

Ia mencari perlindungan dalam lelap, lalu ia tidak menemukannya. Ia pergi mencari gelap, lantas badannya menggigil setengah mati. Ketakutan menyambar hebat ke dalam pikirannya. Tubuh, kenangan, suara, aroma, dan kata-kata mantan kekasihnya itu meneror dalam gelap. Malam tak memberinya istirahat yang cukup, sinar bulan kalah terang oleh pancaran memori mantan kekasihnya. Sedang gelap, tak lagi mampu membendung rona bahagia di masa-masa menggairahkan itu.

Semilir angin membawanya tiba tepat di kolong ranjang kasurnya, perlahan menjalar ke bagian atas kasur, dan menerobos masuk lewat jari-jari tangan yang pernah digenggam erat-erat. Memori itu masuk ke pikirannya yang kosong dan membentuk ilustrasi sedih dalam sebuah mimpi buruk tak berkesudahan. Ia takut lelap, gelap, malam, mimpi, juga mantannya. Ternyata lebih dari itu, ia takut kenyataan dan hidupnya sendiri.
____________________


Ia memulai pagi dengan lesu. Dua mi instan dimakannya tetapi entah kenapa tubuhnya tetap tidak terkoordinasi dengan baik. Perkuliahan dihadiri tetapi pikirannya tidak diisi. Pikirannya tumpul, kalbunya tertutup. Raganya di kelas, pikirannya ke atas, perasaan hilang tak berbekas. Seperti orang gila bercap mahasiswa. Mungkin, lebih baik menjadi gila sekalian. Terbebas dari dosa, cinta, hukum, dan aturan. Salah satu syaratnya sudah terpenuhi, hilang sadar.

Akalnya tidak dapat mengurusi dirinya sendiri, gagal membedakan nilai baik dan buruk. Tidak bersikap pada satu hal yang jelas-jelas menyakiti dirinya, di depan mata. Hinaan datang bertubi-tubi, memekakkan telinga yang mendengar. Ancaman datang sesekali, menggidikkan siapapun yang mengetahui. Lebih sadis ketimbang mayat seseorang yang dicor dalam sudut jalan sempit depan kontrakan. Baunya menyengat tajam tetapi tidak sebusuk tingkah seseorang yang menjalin rasa kemudian mengakhirinya dengan ribuan umpatan tentang materi dan fisik pasangannya.
Gila karena cinta, menjadi gila sebab membawa rasa.

____________________


Pukul 02.21, tepat satu jam sebelum kencan pengkhianat dimulai. Ia sedang bercengkrama dengan teman sekamarnya yang tidak ngerti-ngerti banget tentang cinta. Berbicara panjang lebar tentang siapa yang akan ia jadikan rumah ternyaman selanjutnya, membantu memulihkan luka, menyegarkan tubuh dari gejala anhedonia yang menyerang tiba-tiba. Kesulitan menikmati hidup dan merasakan kesenangan. Bagaimana mungkin, seseorang bisa bahagia jika puluhan update story WhatsApp mantannya terus-menerus menerornya dua jam sekali. Isinya? Apalagi jika bukan pamer kebahagiaan barunya.

Teman sekamarnya izin tidur duluan, katanya " Gua tidur duluan ya, ngantuk dengerin lu ngomong itu-itu mulu. Udah gapapa, lu lanjut cerita aja, gua tetep dengerin kok, besok malem gua kasih tanggepannya kalo sempet. Jangan lupa tidur, lu, nanti gabisa liat dia bahagia sama yang lain, chuaks" dasar konyol. Ia lalu menutup pintu dan mematikan lampu kamar. Mendongak ke langit-langit kamar yang mulai mengeluarkan rembesan air hasil pekerjaan kuli bangunan kemarin.

Ia bingung harus melakukan apa untuk menghabisi sisa malam dan bunyi rintik air menyebalkan ini. Entah kerasukan setan mana, ia mengambil kembali handphone-nya, memeriksa pesan dan telepon masuk yang sedari tadi ia sunyikan. Kaget bukan kepalang, setan kangen ternyata yang merasukinya. Oh bukan, bukan, setan mantan yang menggerakkannya. Panas dingin menyergap tubuhnya yang kian melemah tatkala melihat lima notifikasi pesan dan dua percobaan telepon WhatsApp dari mantannya.

"Hallooooo....."
"Udah tidur belum?"
"Boleh temenin gaa?"
"Udah tidur, yaa?"
"Yaudah deh, gapapaa."
____________________


Ia buru-buru bangun dari kasurnya, membalas sebisa mungkin apa yang bisa ia balas. Karena baginya memberi pesan hanya akan mengulur-ulur waktu, ia ketuk simbol telepon untuk sesegera mungkin menelponnya. Telepon diangkat, suara tangis samar-samar terdengar dari kejauhan. Terisak-isak khas wanita yang tidak sedang baik-baik saja. Butuh bantuan? Pertolongan? Bahu? Atau pelukan? Ga, makasih, aku gapapa, jawab seorang mantan. Inisiatifnya tinggi, kepeduliannya luar biasa, ia bersiap untuk menemui mantannya malam itu juga.

Ia menunggu depan kost mantannya sembari berdoa yang terbaik untuknya. Itu yang ia rasa bisa dilakukan, tanpa mengingat betapa rapuh dan redam hatinya saat ini. Waktu terus berjalan tanpa ada tanda-tanda seorang keluar. Menunggu dan menunggu dengan sabar. Debar hebat dirinya saat tau ada sosok wanita keluar dengan jaket yang menyelimuti tubuhnya. Wajahnya seperti seseorang yang habis nangis seharian penuh. Pucat pasi seperti ingin mengakhiri hidupnya sendiri. Kebahagiaannya lebur tak tersisa.

Sang wanita membuka obrolan terlebih dahulu, "Sudah lama di luar?"
"Engga, aku baru sampai 2—3 menit yang lalu" kata seorang kawan.

Kawan gila satu ini kembali membohongi dirinya. Memasang muka cerita dan peduli untuk memeriahkan malam. Malam memberinya fasilitas mewah dalam rangka menyambut sang mantan. Sang mantan yang pura-pura amnesia, ikut serta dalam permainan sketsa malam ini. Mereka berdua memutuskan pergi ke tempat sunyi namun indah, perbukitan rendah di belakang gedung kuliah.

____________________

    Sumber: Google

Mereka berdua di bawah rumput basah yang sepanjang sore habis diguyur hujan. Sesekali menengok awan yang sudah dihiasi bintang-bintang bulan Juni. Terikat oleh akar-akar pohon yang menjalar ke atas tanah, dipeluk oleh hawa dingin nan menyejukkan kawasan hutan, dimanjakan oleh cahaya kota dan kendaraan yang tak berkesudahan.

Obrolan malam itu dibuka dengan dengan tatapan mata penuh makna. Pada satu titik yang sama, mereka rindu berjumpa. Pada titik yang lain, mereka sepakat untuk tidak lagi bertegur sapa. Ada tangis yang seketika pecah saat itu. Tangis kekecewaan yang telah ia pendam sejak dulu. Wanitanya tak berdaya oleh rasa, sedangkan seorang kawan masih belum dapat mengidentifikasi rasa. Kepekaannya pudar dan gerak automatis tubuhnya tiba-tiba tak berjalan.

Mereka larut dalam balutan cerita roman di masa lalu. Mengeluh perihal hari-hari yang sedang dan akan dijalani. Sang wanita heran mengapa seorang kawan tak lagi mencarinya di kala sepi, dan si kawan hanya terdiam malu mendengarnya, di dalam hatinya, "Apakah aku salah karena tidak lagi mencarimu sejauh ini? Bukankah kau yang meninggalkan dan memberiku bekas luka mendalam? Apakah aku harus selalu menjadikanmu tempat berkeluh-kesah? Apakah pantas aku masih menginginkanmu pada saat dirimu begitu tega menghujaniku?"

Tanpa ada angin ataupun hujan di malam itu, sang wanita berdiri dan menyatakan penyesalannya selama ini, "Aku masih bisa mendengar apa yang baru kau ungkapkan tadi, aku tau dan paham situasinya saat ini. Namun, aku ingin tau seberapa jauh perasaan ini kepadamu, apakah lamanya berjalan bersama bisa aku jadikan tolak ukur semua ini. Aku ingin tau berapa dalam dan gelisahnya dirimu saat aku pergi. Dan aku ingin tau seberapa besar kau menaruh harapan kepadaku di masa mendatang." Wanita itu roboh seperti batang pohon, menangis seperti langit, dan menyesal hebat seperti hujan. Kecawa di masing-masing hati sebab tak ada yang benar-benar mencintai. Enam tahun memiliki belum tentu melengkapi.

____________________


Jangan pergi agar dicari, jangan sengaja lari agar dikejar. Berjuang tak sebercanda itu. - Sujiwo Tejo 



Raihan Immadu

Pamulang, 23 Des 2023

Selamat Membaca

Semoga Memulihkan 

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer