Koko Putih Milik Guru Besar

Aroma bumbu penyedap dan monosodium glutamat seketika menyerbak ke seisi lorong dapur kontrakan mahasiswa Sejarah semester pailit. "Kau lapar jam segini, Mat?" kata seorang kawan Bugis yang kebetulan masih sibuk mengerjakan revisi skripsi sampai jam tiga dini hari.
"Iya, Ndi, dari siang aku lupa makan. Kau mau mie?" tanyaku ke Daeng Andi.
"Engga, terima kasih. Aku hanya iba melihat sarjana muda sepertimu makan mie tiga hari berturut-turut," kata Andi sambil memicingkan mata dan senyum meledek ke arah mieku.
"ah, berlagak gila kau, Ndi. Kau tak ingat, seminggu yang lalu kau bertahan hidup dengan kuah mie dan nasi setengah basi sisaanku.” timpalku. “Bila kau lapar, ambil lah bubur instan milikku di lemari, barangkali otak mungilmu tak kuat menahan segepok revisi malanutrisi dari Prof. Kukuh," sarkasku sambil meninggalkan dapur dan Andi.

Suap demi suap mie instan kusantap bersama alotnya kerupuk melarat yang wadah toplesnya alpa ditutup rapat. Pelan tapi pasti mie instan kukunyah 33 kali, bukan karena tulus mengikuti sunah nabi melainkan karena keyakinan lain, yakni bahwa dengan mengunyah lebih lama akan dengan sendirinya memperlama metabolisme tubuh. Entah benar atau tidak, tapi aku benar-benar mengamalkannya. Panas mie yang semula membubung tipis ke atas, kini tak tampak lagi. Mie jadi makin dingin dan megar. Hingga pada tiga suap terakhir, pesan WhatsApp dari mantan dosen pembimbing skripsi mengganggu kekhusyukan makanku. 

"Imat, nanti pagi jam 6 bisa temani saya menghadiri acara diskusi sejarah di Solo?" 
"Alah, cuk, kaya gabisa WhatsApp pagi aja, mesti jam segini banget," keluhku saat mengintip pesannya lewat notifikasi ponsel. 
"Oke, jam 6 kurang saya datang ke rumah Bapak," balasanku di WhatsApp. 
"Langsung ke terminal Banyumanik saja, kita naik bus seperti biasa. Tiketnya nanti kita cari saat di sana, yaa," pesan Pak Ong ke Saya. 
"Baik, kalau begitu, Pak, sip" 

Setelah percakapan dengan Pak Ong selesai dan ibadah makan mie sudah sampai salam, entah mengapa aku mulai mempertanyakan pilihan yang kubuat untuk turut menemani Pak Ong pagi ini. Tidur belum, duit pegangan kosong, pakaian bersih tinggal sebiji, segala ingin berpergian, keluar kota lagi. Namun, karena yang meminta adalah Pak Ong, yang adalah dosen paling memesona yang pernah kukenal, rasa-rasanya aku tidak cukup punya alasan menolak setiap ajakan darinya. Di luar, isu dan tema diskusi pagi nanti yang memang semenarik itu bagiku. 

Tema dari diskusi nanti tentang penulisan ulang sejarah resmi nasional Indonesia. Proyek besar dari pemerintah guna menyusun narasi kemasyhuran bangsa indonesia dari masa lalu sampai masa kini. Masalahnya satu, pemerintah sama sekali tidak menyinggung peranan dan kontribusi kelompok Tionghoa dalam perjuangan kemajuan bangsa. Pada titik tersebut, Pak Ong sangat murka dan menolak mentah-mentah rencana projek ini. Pak Ong menulis opini tentang isu ini pada sebuah koran nasional yang ia beri judul, "Terkutuklah Menteri Kebudayaan dan Sejarawan Cap Tikus". 

Dalam tulisannya, Pak Ong bukan hanya mempertanyakan akal sehat dan kesadaran historis para sejarawan yang terlibat. Namun juga keengganan mereka dalam mengakui adanya pemerkosaan dan pelecehan massal yang menimpa kelompok Tionghoa di tahun 1998. Penyangkalan ini benar-benar melukai hati Pak Ong dan seluruh masyarakat Indonesia, khususnya kelompok Tionghoa. Bagaimana mungkin, peristiwa seterang dan setraumatis ini disebut rumor oleh Pak menteri dan jajaran profesor sejarah. "Mereka semua zalim, pragmatis, dan mengecut. Kelas mereka tidak sepatutnya berada di tingkat profesor, kelas tikus got saja masih sangat diuntung buat mereka," secuil tulisan opini Pak Ong lima hari yang lalu. 

Sisi menariknya, profesor yang memimpin mega proyek ini adalah Prof. Kukuh, yang tiada lain merupakan senior Pak Ong sendiri. Jarak antar ruangan Pak Ong dan Prof Kukuh bahkan hanya sebuah dinding tripleks kualitas rendahan, tidak kedap suara ataupun rayap. Sesekali mereka menjadi tim pengajar mata kuliah sejarah pergerakan nasional. Namun, dalam konsentrasi displin yang bertolak belakang. Prof. Kukuh ahli dalam sejarah militer dan politik, sedangkan Pak Ong spesialis sejarah pendidikan dan pers. 

Pernah satu waktu Prof. Kukuh mengutarakan, "bangsa ini dibangun oleh para militer. Sudah semestinya militer mendapat penghargaan dan penghormatan setinggi-tingginya dari negara. Jika memungkinkan, seluruh jabatan publik saat ini diisi oleh militer saja, biar tambah besar bangsa ini," pekik Prof. Kukuh saat mengisi materi sejarah militer semester dua. Oleh para mahasiswa baru yang kepo dan pandai bergosip, ucapan Prof. Kukuh tadi kemudian diadukan ke Pak Ong. 

Mendengarnya, Pak Ong hanya tersenyum kecut, menyunggingkan mulutnya, dan bilang, "Prof. Kukuh kan besar dan tumbuh di lingkungan militer, ayahnya veteran revolusi '45 dan penjegal PKI pasca G30S. Tidak mengherankan bila beliau bersikap amat berlebihan pada jasa-jasa militer. Kalian aminkan saja apa yang beliau jelaskan sewaktu di kelas, setelahnya kalian boleh buang opini sampah itu ke selokan-selokan kotor yang ada di sekitaran kampus," timpal Pak Ong setengah serius. 

Di waktu yang lain, Pak Ong berbicara tentang kontribusi kelompok Tionghoa bagi kemerdekaan Indonesia, khususnya sektor pendidikan, pers, diplomasi, dan perdagangan, "Orang-orang Tionghoa berabad-abad lamanya sudah menjadi orang Indonesia sepenuhnya, tumbuh bersama budaya, makanan, semangat, adab, dan pengetahuan lokal. Durhaka lah bagi siapapun yang yang terus-menerus menyebut orang Tionghoa sebagai tamu dan entitas nomor sekian. Mereka bukan hanya rasis-fasis, tetapi juga gagal menjadi warga negara Indonesia." Kutipan ini oleh para mahasiswa baru yang kepo dan pandai bergosip dilaporkan kepada Prof. Kukuh. 

Seketika Prof. Kukuh geleng-geleng kepala tanda keheranan dan tidak habis pikir dengan tuduhan Pak Ong yang dia rasa menyasar ke dirinya, "Orang Cina yang baik adalah orang Cina yang di Cina. Tak perlu repot-repot berlayar ke sini apalagi sampai memonopoli perdagangan. Masih syukur saat peristiwa Geger Pecinan orang-orang Cina ini tidak dibantai habis selayaknya orang komunis pasca G30S/PKI," balas Prof. Kukuh sambil menyuruh mahasiswanya untuk tidak menyebarkan sindirannya ini ke Pak Ong.

*******

Jam enam kurang sepuluh, aku tiba di stasiun Banyumanik. Dari kejauhan, Pak Ong sudah melambai-lambaikan tangannya ke arahku. Tanpa pikir panjang, aku langsung menghampiri Pak Ong yang sudah sangat rapi dengan baju koko putih, celana pangsi hitam, dan sepatu slop tuanya. Aku meminta maaf karena telah membuat Pak Ong menunggu sendirian di terminal. Tak menghiraukan permintaan maafku, Pak Ong malah bilang, "ini saya bawakan wingko babat dan teh hijau buatan istri, hitung-hitung pengganjal perut sebelum berangkat. Ambil saja, tak usah sungkan-sungkan." Suguhan Pak Ong itu langsung kusambut dengan antusias, melahap wingko babat dengan tiga gigitan lalu meredakan seretnya dengan seruput teh hijau hangat tanpa gula.

Selang beberapa saat, bus antar kota datang, kondektur turun dan berulang kali menyebut, "Semarang-Solo, Semarang-Solo. Bapak Ong Hok Cheng dua tiket. Semarang-Solo." 

Aku dan Pak Ong pun bergegas cepat masuk ke bus. Pengecekan tiket dilakukan secara kilat oleh kondektur yang sedari awal sungguh-sungguh memperhatikan kami. "Orang tua Cina dan mahasiswa dari Jakarta ternyata" celetuk konduktor bus kepada sopir. Kami lalu dipersilahkan masuk dan duduk di tengah-tengah bus. Pak Ong menghadap kaca, sedangkan aku dekat lorong antar kursi kanan-kiri. Dengan sedikit penasaran, kutanyakan kesiapan materi yang akan Pak Ong sampaikan nanti, Pak Ong hanya mengangguk tersenyum. Entah apa maksud senyumannya itu, aku malas menerka-nerka. Setelahnya, aku izin untuk tidur sampai perjalanan selesai, meninggalkan Pak Ong yang masih sibuk membuka catatan dan arsip rekaman video lama kepunyaannya. 

Dua jam kurang, bus telah tiba di Terminal Tirtonadi Solo. Kami berdua turun diikuti oleh beberapa penumpang lain. Melihat waktu yang masih longgar, Pak Ong mengajakku sarapan, "Diskusi baru akan mulai jam 9, ayo, kita cari bakso atau mie ayam pangsit lebih dulu." Aku mengiyakan. Namun, lebih memilih makan dimsum ketimbang mie ayam ataupun bakso sebagaimana saran Pak Ong di awal. Satu porsi dimsum lengkap dengan segelas es cincau tersaji rapi di meja. Pak Ong masih keukeuh dengan pendiriannya, semangkok bakso + mie kuning dan bihun. 

Kembali kutanyakan kesiapan Pak Ong buat acara nanti, "Bagaimana, Pak, diskusi nanti? Normatif atau konfrontatif seperti bapak mengajar di kelas sejarah pendidikan?" Pak Ong menimbang sebentar, menggulung lengan bajunya sampai siku, lalu bilang, "Yang akan menang adalah yang tahu kapan harus bertarung dan kapan tidak bertarung. Ini waktunya saya bertarung."

Aku tertegun mendapat jawaban seserius itu, Pak Ong lalu melanjutkan, "Nanti akan banyak teman-teman Tionghoa yang hadir dan bercerita tentang kronologi pemerkosaan 1998. Saya yakin hal ini sangat berat bagi mereka, seperti melepas kembali jahitan luka yang hampir kering. Namun, publik harus tau. Menteri kebudayaan harus sadar. Sejarawan cap tikus mesti tobat. Saya akan buka semuanya. Pun dengan konsekuensi yang akan saya dan keluarga saya hadapi setelah ini, teror atau kematian sekalipun. Saya sudah siap,"

Perasaanku langsung berubah. Tidak disangka Pak Ong akan mengambil resiko sebesar ini. Padahal, sebulan yang lalu, ia baru mendapat rekomendasi pengangkatan Guru Besar Sejarah dari pihak fakultas. Alih-alih bermain aman sampai privilese berhasil ia dapat, Pak Ong malah bermain-main dengan para tikus liar. "Tak peduli saya masih akan diangkat menjadi Guru Besar atau tidak, itu bukan sesuatu yang saya cari. Dalam kondisi seperti ini, saya masih cukup bahagia. Privilese itu hanya ada dibayangkan kamu dan orang-orang lain, saya terbiasa hidup sebagai minoritas, dobel minoritas, bahkan tripel minoritas," tiba-tiba saja Pak Ong berkata seperti ini kepadaku. Dalam hati, aku kagum dengan keteguhan Pak Ong dan ilmu membaca pikirannya yang membuatku makin terheran-heran memandanginya.

Selesai mencerna kisi-kisi materi Pak Ong dan membereskan urusan perut, kulihat Pak Ong telah berdiri untuk membayar semua tagihan. Dikeluarkan selembar gocap lalu diikuti tiga lembar goceng dari saku kiri kokonya, "kembaliannya ganti pakai bakwan jagung plus kecap manis saja. Mumpung baru digoreng, saya jadi ingin mencicipinya," minta Pak Ong disertai kekehan kebapak-bapakannya. 

Segera setelah urusan bayar-bayar beres, aku dan Pak Ong bergegas menuju tempat diskusi. Jaraknya tidak terlampau jauh, kurang lebih 15 menit dari terminal. 

******

Kami tiba di tempat diskusi pukul sembilan kurang delapan menit. Barisan kursi depan sampai tengah sudah padat terisi. Buku dan pulpen terlihat di mana-mana. Kamera jurnalis lokal maupun nasional berjejeran menunggu setiap momen genting. Saat semua pemantik diskusi dipersilahkan duduk di sebuah panggung kecil. Semua mata, telinga, hati, tangan, dan kaki tertuju sempurna ke arah Pak Ong. Ada yang sudah tidak sabar menghentakkan kursi, membanting pulpen, menghantam lantai, merobek kertas, bahkan berteriak "bajingan" ke segala arah tatkala Pak Ong membeberkan bukti kebiadaban pemerintah pada rakyatnya. 

Saat moderator diskusi menanyakan apa yang terjadi dengan para profesor sejarawan dan menteri kebudayaan hari ini, Pak Ong dengan datar menjawab, "Saya bersumpah, demi tuhan, orang-orang yang terlibat dalam penulisan sejarah resmi tidak lebih dari seorang pecundang. Pecundang intelek yang tidak pernah berani menghadapi orang-orang jujur. Saya sedari awal menanti berdebat dengan mereka di sini. Namun, entah karena pertimbangan apa, mereka tidak bersedia hadir, dan diganti dengan beberapa intel ataupun orang suruhan mereka yang berdiri di sudut-sudut sana. Saya katakan sekali lagi, Saya Ong Hok Cheng, tidak akan gentar sedikitpun mendapat teror dari kalian. 

Malam tadi ponsel saya dipenuhi puluhan telepon dan pesan dari orang yang tidak saya kenal. Saya dan keluarga diancam untuk tidak lagi berkomentar soal proyek haram jadah ini. Salah satu pesan yang saya ingat, berisi 'hei Cina bangsat. Perlukah lehermu dan keluargamu kugorok satu per satu agar kalian meyakini bahwa peringatan ini bukan sekadar lelucon. Ingat, nyawamu dan keluargamu tidak akan pernah aman.' 

Pak Ong kemudian berdiri, mengacungkan tangannya ke beberapa orang yang berada di pojok ruangan, "kau yang berkemeja putih, kau yang berambut panjang, kau yang selalu memakai masker, dan kau yang bermata sayu, sedari pagi kalian membuntuti saya ke manapun saya pergi. Kau mau apakan saya sekarang? Racun seperti Munir? Tikam bagai Ita Martadinata? Tembak seperti Marsinah? Atau culik seperti Wiji? Dasar kacung penguasa. Sedikitpun saya tidak takut pada kalian. Saya akan terus mengatakan fakta yang ada sebagaimana kewajiban saya sebagai sejarawan sekaligus korban diskriminasi negara bertahun-tahun lamanya."

Seisi ruangan hening tak berkedip, hanya jepretan kamera jurnalis yang beberapa kali memecah kesunyian amarah Pak Ong. Tampak seorang jurnalis lokal mesem tiada henti membayangkan liputannya akan menjadi trending topic selama sepekan ke depan, terlebih bila diberi Headline, "Andai Ong Hok Cheng Seorang Pribumi". Sementara Pak Ong menyelesaikan fakta dan temuan terbaru tentang pengerahan masa secara sistematis, terstruktur, dan tidak organik dari beberapa pejabat dan jendral militer untuk memperkosa perempuan-perempuan Tionghoa. Salah seorang peserta mengangkat tinggi tangannya, berteriak marah, dan meminta waktu untuk berbicara. 

"Maaf, Pak Ong dan semuanya. Saya Angel dan saya adalah korban peristiwa pemerkosaan massal 1998. Ibu saya tewas diperkosa sekelompok orang. Baju ibu dirobek, celananya dilorot, tangan dan kaki ibu diikat, mulutnya disekap sampai ibu kehabisan tenaga. Adik saya yang laki-laki dipaksa menonton ibunya diperkosa sambil mulutnya disumpal dengan celana dalam ibu. Sedangkan saya, hanya bisa menangis saat dua orang bertubuh tegap, bersepatu tebal, dan berambut cepak menarik rambut kepang saya dengan amat keras. Saya memberontak tapi apalah kekuatan saya dibanding kekuatan terlatih mereka. Tubuh saya digilir saat usia saya belum genap 12 tahun.”

“Berjam-jam saya diperlakukan selayaknya gedebok pisang tak berperasaan. Saya hancur, takut, marah, sedih, malu, dan akhirnya tak sadarkan diri. Saya terbangun selang sehari setelah peristiwa itu di sebuah rumah sakit swasta. Tidak mampu berkata, memberi isyarat, ataupun bentuk komunikasi lain. Otak saya penuh dengan kobaran api yang membakar rumah, ibu yang alat kemaluannya sudah berdarah-darah, lolongan getir adik di bawah kursi, serta potongan jari tangan ayah yang berserak di atas meja. Saya kalah, saya menyerah detik itu juga.” 

“Lalu sesosok manusia berhati lapang dan tenang datang meredam kekalutan yang tersimpan dalam di tubuh saya. Diajarkannya saya bicara, menulis, membaca, berekspresi, makan-minum, dan mengais sisa keluhuran makhluk berakal yang sempat saya miliki. Darinya, saya diajarkan kembali untuk menjadi manusia.” 

“Dengan semua perhatian dan kesabaran kasihnya, saya diasuh secara tartil. Ia senantiasa meminta maaf jika tak mampu menghibur hati saya yang sewaktu-waktu teringat akan situasi kiamat kecil yang menimpa saya. Setiap pagi, ia dan istrinya menyiapkan saya teh hijau hangat dan wingko babat yang takaran manisnya sempurna untuk kesehatan. Saat ini, malaikat tersebut sudah kian melemah. Rambutnya tambah memutih dari waktu ke waktu. Punggungnya sering pegal dan ditempel koyo pedas. Meski begitu, senyum dan gairahnya menolak tua. Ia tetap berdiri di jalan sepi nan sunyi, seberbahaya apapun pikiran dan nyata musuh yang menghadangnya. Orang tua rentan tersebut bernama Ong Hok Cheng. Ia yang menarik saya dari trauma tragedi paling zalim abad ini, meredakan luka saya pelan-pelan lewat kelapangan hati tingkat rahman-rahim," tangis Angel pecah ketika melihat Pak Ong di depannya, duduk dengan rasa lapang dan tenang. 

Untuk kesekian kalinya, ruang diskusi ini hening tak tersisa. Semua pandangan tertunduk takzim ke Pak Ong. Seolah mengheningkan cipta atas keterusterangannya dalam melawan sekaligus kesunyiannya dalam mengobati luka. Tidak ada yang menyangka akhir diskusi ini berakhir dengan hawa haru seperti ini. Daya ledak yang bertubi-tubi digosok oleh Pak Ong di awal, nyatanya tak sedikitpun menghasilkan bunyi dentuman besar. Tidak semenggelegar granat lontar militer, tapi getar zuhudnya mampu menginsyafkan seluruh jiwa pendengarnya. 

Seperempat jam berlalu, Pak Ong meninggalkan panggung diskusi yang tak lagi mampu ditutup oleh moderator diskusi. Kami masih tertunduk, setengah berharap Pak Ong meninggikan kerendah-dirian kami. Tak lama, Pak Ong memanggilku dan mengingatkan bahwa dirinya harus pulang sore ini juga. Diakhiri peluk dan foto dengan Angel serta rupa-rupa peserta yang hadir, aku tetap tak bernyali untuk mengajak bicara ataupun menatap mata Pak Ong. Merenung duduk sepanjang jalan pulang sambil khusyuk mendengar rintihan hati tak tertahankan Ong Hok Cheng.

*******

Dua hari pasca diskusi di Solo. Daeng Andi memberitahu dengan amat terburu-buru bahwa semalam Prof. Kukuh meninggal dunia. Ia sekonyong-konyong bilang, "Aku berani bersumpah jika berita yang beredar mengatakan Prof. Kukuh mati sebab dibunuh orang Cina. Keparat Cina itu menikam Prof. Kukuh saat hendak menunaikan salat isya berjamaah di musala. Mayat Prof. Kukuh kemudian diseret ke semak belukar, dicongkel dua biji matanya, disayat mulut, kuping, jemari tangan, serta kemaluan Prof. Kukuh dengan amat presisi. Lalu di bawah sinar bulan purnama sempurna dan musik mandarin klasik, pembunuh Cina ini menari-nari mencabuti kumis dan alis Prof. Kukuh yang sudah tergeletak kehabisan darah.

“Yang lebih gila, psikopat Cina tersebut tidak berusaha menghilangkan alat bukti. Pisau yang digunakan menikam Prof. Kukuh dibiarkan menancap dalam di dada kanan korban. Berdiri tegak, di atas beberan usus besar yang siap menggelinding ke tanah. Secarik pesan yang sengaja ditinggalkan, berisi, ‘Andai Aku Seorang Pribumi,” Andi menghentikan kesaksiannya sambil memaksaku untuk melihat kondisi kampus segera. 

Setibanya di kampus, kulihat jajaran karangan bunga belasungkawa untuk Prof. Kukuh. Setumpuk poster selamat tinggal Prof. lengkap dengan foto dan karya-karya beliau selama mengajar. Di sudut kiri yang tidak jauh dari ruang dosen, kutemukan seruan ganyang Cina Keparat, Cina Bangsat, Cina Psikopat. Terdengar juga pekikan-pekikan, “Cina, Cina, Cina, tak punya otak” dari beberapa mahasiswa baru yang kepo dan suka demo. 

Tak lagi kuat memfilter riuh kabar duka hari ini. Aku ajak Andi pergi meninggalkan kampus, pindah menuju burjo samping patung Cheng Ho untuk menunaikan makan siang. sejengkal sebelum meninggalkan parkiran kampus, kulihat Pak Ong berjalan melewati karangan bunga dengan sikap tegar. Ia mengangkat kepalanya tinggi-tinggi. Dugaanku, saraf leher Pak Ong sedang memegang hebat hingga kepalanya sulit ditundukkan. "Nanti saja kutanyakan ke beliau soal sakit itu, sekalian menanyakan kebenaran fakta meninggalnya Prof. Kukuh semalam," niat baikku yang kusimpan sendiri. 

Di burjo, Daeng sudah lebih dulu memesan beberapa makanan chinese dengan mulut yang tak pernah berhenti mengoceh tentang psikopat Cina yang haus darah dan mengincar profesor-profesor sejarah lainnya. Gempuran energi ketakutan yang kian menajam di telinga itu sebisa mungkin tak kutanggapi serius. "Iya, oh, mungkin, bisa jadi, hm, oke," responku sarkas menyuruh Daeng berhenti bicara. 

Bersamaan dengan responsku yang ala kadarnya, sebuah pesan WhatsApp muncul tanpa sepeserpun salam, "Imat, tidak perlu terlalu dipikirkan rumor-rumor tak berdasar yang beredar, Prof. Kukuh meninggal dunia karena serangan jantung saat akan mengambil wudu di kamar mandi. Kita doakan saja agar Prof. Kukuh husnul khatimah, innalillahi wa inna illahi rajiun," tutup Pak Ong mengakhiri golakan batinku.

Sedap aroma kwetiau + nasi goreng jawa milik Andi makin membuatku mensyukuri semua kejadian beberapa hari ke belakang. Dengan satu hela napas mahabah, aku memesan tambahan menu siomay, lumpia, bakpao, cakwe, seporsi capcai, dan fuyunghai untuk Andi. Di antara sikap senang dan bingung, Andi menatapku dalam-dalam. 

"Sudah, tidak perlu dipikirkan tagihan makanan chinese ini. Semuanya aku yang traktir, dari uang pemberian sejarawan pribumi berhati paling lapang dan tenang yang pernah kutemui,” penuh perhatian kukatakan itu ke Daeng Andi, mahasiswa pailit yang kepo dan pandai pula bergosip. 

Komentar

Postingan Populer