Hatinya Disimpan (Mungkin)
"Untungnya, ku bisa rasa
Hal-hal baik yang datangnya belakangan."
- Bernadya
Harusnya tidak jadi persoalan ketika aku yang biasa menulis ini-itu memaksakan diri untuk menulis kesan selama dua tahun belakangan. Senang dan pengalamannya membekas, tetapi jengkel dan mati rasanya juga melekat erat. Mungkin, alasan untuk sekadar merasakan situasi hubungan sewaktu kuliah menjadi penyebab kenapa cerita dua tahun ke belakang tak begitu mengesankan. Mungkin.
Alasan lainnya mengapa aku kurang suka membahas bagian ini adalah ketidakinginanku membuat orang itu merasa sespesial itu. Toh, kita pernah senang-senang bareng, kalau saat ini tidak lagi, ya tak apa, namanya juga hidup, kadang bersama, kadang menyerah.
Pesan terakhir yang orang itu kirimkan (kebetulan aku masih ingat) adalah jangan jadi orang yang cepat menyerah. Aneh. Menakar seberapa mampu diri untuk mencapai sesuatu bukannya hal yang realistis. Untuk apa mengejar sesuatu sebegitunya tetapi kapasitas diri belum segitunya. Strategi bertahan hidup, terlalu asyik menyerang akan banyak menghabiskan banyak tenaga, belum tentu menang juga, kan?
Pesan lain yang mungkin aku ingat, dilarang playing victim setelah orang itu pergi. Menghela napas ketika baca pesan ini saja rasanya susah, terlalu out of the box. Masalahnya, kalaupun aku mau, ke makhluk mana aku melakukannya? Capek banget harus menjelaskan orang itu ke teman-teman, belum tentu orang lain peduli dan mau mendengarkan.
Ketika itu, rasanya malas untuk menjawab pesan-pesannya. Energinya habis, usaha takkan mengubah banyak hal. Sekadarnya saja. Meminta maaf, berterima kasih, hati-hati di jalan.
Sejujurnya, aku juga ga sesempurna itu. Lebih banyak salah dan anehnya bahkan. Lepas kontrol juga ada kalanya. Namun, yang pasti sikapku yang mungkin terlalu kaku dan jarang melunak inilah semuanya berawal.
Oiya, aku juga gagal konsisten dan standar ganda. Ketika orang itu mengirimiku pesan,
"lu cebol, patriarki akut, gamau ngalah, ga peka,
emosian,
hidup pake otak doang, hati nya disimpen.
rasional akut."
Aku memaafkannya sebagai personal, tetapi tidak secara hubungan. Aku menutup rapat-rapat obrolan selama beberapa hari. Kecewa sendiri dan tidak lagi berselera membuka kolom obrolan dari orang itu.
Orang itu meminta maaf beberapa hari. Aku berseliweran ke mana-mana. Maafnya diterima, muaknya masih ada. Aku juga bingung mengapa seperti itu. Padahal, kalau serapah-serapah tersebut dikirim oleh orang asing, responsku juga tidak akan semarah itu.
Mungkin merasa kecewa atau terlalu berekspektasi tidak akan diserapahi sebegitunya, yang jadi sebab aku begitu. Namun, masalahnya satu. Sejak saat itu, orang itu selalu merasa dirinya menjadi people pleaser. Membangun narasi pernah mengemis maaf untuk mengembalikan hubungan yang terlanjur bocor besar. Padahal, serapahnya yang ga ada otak.
Ceritanya mungkin tak lengkap ke teman-teman, ceritanya mungkin hanya tentang aku yang terlalu kaku, rasional, dan tidak peka. Bagian dirinya meledak-ledak mungkin lupa diceritakan. Takut pandangan orang lain berubah bahkan berbalik menghakimi dirinya, mungkin. Tidak peduli juga.
Selamat memvalidasi dan menyakini diri bahwasanya people pleaser lahir dari akibat yang sebabnya tidak diceritakan. Selamat berjuang mencari orang baru, pertemanan baru, dan masalah-masalah baru. Uang? Biarlah orang itu tetap transaksional di semua hubungan yang ia dijalani.
Tulisan ini kayanya jadi tulisan paling tidak seru yang pernah kutulis. Namun, mungkin menjadi yang paling seru dibaca oleh teman-teman yang julidnya minta ampun. Biarlah, aku juga baru baca buku kiat-kiat menulis esai. Mungkin ini jadi momentum yang pas untuk merevolusi tulisan ke depannya.
Semarang, 24 Agustus 2024
Selamat Bersenang-senang
Komentar
Posting Komentar