Kenang Jalan Bersama

Aku serius mengatakan ini di awal, aku tak sekalipun menyimpan seseorang di dalam lagu. Tidak dengan memori indah, tidak dengan kesempatan konser bersama, tidak dengan lagu-lagu yang pernah kita dengar atau nyanyikan bareng di teras rumah tua. Tidak, tidak, dan tidak. Aku hanya mendengarkan lagu yang aku suka liriknya, lucu tingkah penyanyinya, atau terpaksa mendengarkannya karena terlalu sering diputar di tempat-tempat yang aku singgahi.

Sebelum kalian membaca tulisan ini sampai akhir, coba lebih dulu dengar lagu-lagu Dere dan Bernadya. Alasannya mudah, aku teramat suka dengan lagu serta muatan liriknya. Seringkali aku memutarnya berulang kali sampai-sampai tak sadar alarm pukul enam pagi sudah berdering nyaring membangunkanku lagi. 

Mendengarkan dan memahami makna lagu-lagu itu membuatku semakin paham bahwa wanita bisa dengan mudahnya menggambarkan situasi kerentanan di hidupnya. Tanpa menyinggung selera pasar, tulisan-tulisan yang ditulis wanita seringnya terdengar jujur dan apa adanya. Lugas, tidak bertele-tele. Tidak mengherankan bila pendengar militannya berasal dari kelompok laki-laki. Alasannya sederhana, lewat lagu-lagu tersebut perasaan laki-laki bisa terwakilkan tanpa perlu menjelaskan banyak.

Aku sendiri berada di dalam tumpukan laki-laki yang perasaannya mudah terwakilkan di tulisan maupun lagu. Ironi memang, seorang penulis amatir ini tidak pernah bisa secara lugas dan apa adanya menjabarkan perasaan yang sedang dialami. Menolak menulis kisah hubungan di masa lalu karena takut mantan pasangannya merasa spesial saja sudah sangat tidak masuk di akal. Terlampau lemah dan tidak pintar bersyukur. 

Kembali ke Dere dan Bernadya. Dere tak sekalipun berlagak malu-malu kucing untuk mengatakan usaha move on-nya selama setahun gagal karena relapse nama mantannya kesebut. Dere terlampau ekstrem untuk mengungkapkan kerinduannya di setiap udara yang ia hirup sehabis hujan. Riuh suasana kota boleh berganti, tetapi rindu dan wanginya tak sedikitpun beralih. Terdengar sederhana dan mudah. Namun, laki-laki yang berlagak kuat tak mungkin bisa menulis kalimat seterang-benderang ini, termasuk aku.  

Bernadya lebih tak masuk akal, di lagu Kini Mereka Tahu, mantannya yang nyata-nyata melukai dirinya sedemikian dalam, keukeuh diberi ruang khusus. Sedemikian keras mengarang cerita baik agar mantannya tidak dinilai buruk adalah satu usaha langka yang tidak semua pasangan lakukan setelah putus. Jujur saja, setelah tak lagi bersama seringkali kabar-kabar buruk tentang kita muncul ke permukaan. Disantap publik, dilumat teman dekat, lalu menjadi buruk berkeping-keping. 

Untungnya, aku bisa rasa dan paham hal-hal baik yang datangnya belakangan. Sedikit menyesal kenapa tidak bertemu Dere dan Bernadya lebih awal, tetapi siapa yang bisa memaksa kehendak Sang Maha Penentu. Di masa-masa awal berpisah, aku berharap semuanya berjalan baik-baik saja. Serasa sembuh dari penyakit cacar, pelan-pelan aku menata kembali kisah yang sebelumnya penuh bekas luka, kecil tetapi banyak jumlahnya. Tidak juga sepenuhnya langsung bebas, aku mesti menunggu beberapa saat sampai cacar ini tak lagi menyebar dan melukai orang sekitar. 

Ketika cacar sembuh dan luka perlahan kering, senangnya bukan main. Aku bebas ke manapun aku ingin, mengerjakan ini-itu, eksplor sana-sini, dan hal-hal lain yang sebelumnya tidak pernah aku rasakan. Di titik-titik tertentu, senangnya tidak terkira, tetapi di titik yang lain, deritanya luar biasa. Beberapa bagian menyenangkan ini malah menghadirkan ingatan lama. Relapse datang tanpa bisa aku cegah. Mencoba menahannya sekuat mungkin karena memberi kabar sudah tidak mungkin dan mengetahui kabarnya sudah tak lagi bisa. Bukannya apa, sedari awal akses komunikasi di antara kita, benar-benar aku batasi. Maklum, sedang euforia sendiri dan merasa si paling kuat. Padahal, seringkali juga aku dibuat menggerutu karena gagal mengetahui keberadaanmu. 

Sedikit lega setelah selentingan kabarmu datang dari satu-dua teman. Untungnya, wujudmu masih hidup. Masih bisa kulihat, meski tak ada tegur sapa di antara kita. Kalau boleh jujur, aku sudah kehilangan banyak memori tentang kita. Aku lupa kapan terakhir kali kita bertemu dan berbicara panjang sebelum akhirnya menjadi asing begini. Apa mungkin di pinggir sungai samping kedai es coklat, ketika kamu menanyaiku seberapa penting hubungan ini. Atau mungkin, di depan rumah tua berisi orang-orang pusing, waktu kita memasang pelindung layar handphone. Intinya, yang aku ingat hanyalah bulan September tahun lalu. Tepat beberapa minggu setelah aku pulang KKN dan penelitian sejarah. 

Bulan September tahun lalu, saat hubungan ini mulai renggang karena komunikasi yang kurang intens. Kamu sibuk dengan urusan perutmu dan akupun begitu. Kita asing seasing-asingnya. Tidak lagi berisik dan memberi reaksi atas story masing-masing. Menutup diri juga memblokir satu sama lain. Kebiasaan itu berjalan setahun lamanya. 

Belakangan aku baru menyadari kegilaan ini. Selentingan kabar yang kuterima tadi, kuanggap sebagai pertanda dirimu sudah lebih lepas dari sebelumnya. Kalau dirimu saja sudah sebegitu bahagianya, mengapa aku tidak. Namun, tidak dengan orang baru. Aku mencoba lebih menikmati dan mengingat-ingat kembali hal-hal yang pernah aku lalui, termasuk ketika bersamamu dulu. Aku mulai membaca obrolan-obrolan lama serta foto-foto yang entah sampai kapan bertahan di google photos-ku. Secepat itu waktu berubah, sekilat itu perasaan berpindah. Bulan ini kita mengunjungi museum bersama, bulan depannya sudah mati rasa. Wow, siapa yang bisa menebak perubahan ini. 

Lalu lagu-lagu Bernadya datang disusul Dere. Bernadya meski dramatis tetapi tetap syahdu didengar. Sedang Dere, lebih nano-nano. Secara ajaib dan menggemaskan, Dere mampu menggambarkan situasi kerentanan seseorang dengan ekspresi serta perayaan semenggembirakan itu. Semua orang mungkin pernah relapse, kangen, rindu, kepo, bahkan ingin balikan, tetapi tidak semua orang bisa menyatakan. Dere dan Bernadya bisa melakukan keduanya di waktu yang bersamaan.

Persis setahun yang lalu, aku adalah Bernadya. Di bulan ketiga belas, aku mau seperti Dere. Merayakan kepatah-hatian ini dengan suka cita. Setiap relapse datang di ruang sunyi maupun bising, aku ingin memeluknya erat-erat. Memandang foto-foto kita berdua di puncak candi, di pinggir pantai, di pangkas rambut, di pelantikan pengurus, di kampus, dan di bangunna kota lama. Membaca ulang obrolan lama ketika kau menitip air mineral, es teh, susu kemasan, ayam penyet, softex, charger, pulpen, atau perintilan-perintilan lain yang lupa kau bawa saat main ke rumah tua. Ternyata seasik itu kita, kalau tidak bertengkar.

Aku juga terlambat sadar bahwa TikTok yang aku nikmati hari ini adalah hasil keisenganmu  meng-install aplikasi itu di handphone-ku waktu itu. Padahal suka aku peringatkan dirimu untuk jangan sembarangan membuka handphone-ku tanpa izin, tetapi memang sifatmu yang jail, aku bisa apa. Dalihmu agar lebih mudah memberi rekomendasi makanan enak dan destinasi wisata. Aku bisa apa kalau soal jelajah kuliner, namanya juga food vlogger hehehehe. Terima kasih, karena keisenganmu dulu, aku bisa lebih belajar soal membuat konten dan mengedit gambar. Aku punya medium menulis lain selain blog ini, media online, ataupun Twitter dan Instagram-ku yang sepertinya tak bisa mewakili jiwa-jiwa detektif swasta yang di dalam diriku. Sekali lagi, terima kasih. 

Selayaknya percakapan kita sore itu tentang stoikisme. Aku menulis ini untuk kesenangan serta ketenanganku sendiri. Bila nantinya tulisan ini malah memberatkan dirimu yang sedang berjuang melupakanku, aku minta maaf, tidak ada niat semacam itu. Tidak juga ada niat untuk memaksamu untuk melakukan apa yang sedang aku lakukan ini, tidak. Aku sebatas ingin mengapresiasi Bernadya dan Dere saja, yang kebetulan karyanya bertaut dengan kondisiku saat ini. 

Semoga kamu membaca tulisan ini. Sebab bagaimanapun juga, aku masih setengah yakin kamu terus memantau aktivitas online-ku dari kejauhan. Maaf, bila aku banyak memblokir akun-akun palsu yang sengaja kamu buat untuk melihat story Instagram-ku, maaf. Kalau kamu ingin melihatku, lihat saja, toh, aku juga selalu melihat segala macam aktivitas yang dirimu unggah. Oiya, semua media sosialmu juga sudah tidak lagi aku blokir. Sebab perayaan kerentanan ini tak ada yang perlu ditakutkan (lagi), menghampar dan tenggelam dalam suasana riuh kota. Aku ingin merayakan sisa-sisa kerentanan ini dengan sungguh-sungguh, meski tidak ada dirimu dan tidak akan ada lagi hadirmu. 

Sebagai penutup, aku ingin memungut salam perpisahan yang Dere tinggalkan di live Instagram-nya kemarin, "Terima kasih semuanya, semoga kita semua selalu dikelilingi oleh rasa-rasa bahagia. Semoga yang habis patah hati, bisa kembali menjalani hari-harinya dengan banyak ketawa-ketawa lagi. Sehat-sehat semuanya." 



Raihan Immadu.
Pamulang, 8 Oktober 2024
Selamat Membaca 
Semoga Bahagia.

Komentar

Postingan Populer